Selasa, 14 Desember 2010

Intens: Wajah Baru Silet











Oleh : Taufik Rahmad Setyadi N. (D2C008075)

“Kami akan menyajikan berbagai peristiwa setajam silet”

Itulah sedikit petikan dari tagline yang selalu dipekikkan presenter program acara “Silet” ketika memandu tayangan Infotaintment yang cukup ternama ini. Saya akan mendeskripsikan sekilas tentang program Infotainment ini. Silet pada awalnya merupakan program acara feature yang tayang setiap akhir pekan. Program ini menyajikan berbagai human interest dengan tema yang berbeda setiap minggunya. Tidak begitu lama, rating program acara ini “meroket” dan kemudian intensitas penayangannya dalam seminggu bertambah. Selain itu, warna beritanya bertambah dan masih berkisar tentang human interest. Sekian lama program acara silet ini terus menyihir penonton karena tema-tema yang disajikan adalah tema yang sedang hangat di masyarakat. Disaat program acara lain yang mengangkat isu-isu yang berubungan dengan dunia ghaib, seperti : Dunia Lain dan Uka-Uka, Silet turut mencabangkan tema yang ditayangkan dan cukup mendapatkan tanggapan yang bagus dari masyarakat selama kurang lebih dua tahun. Dan akhir-akhir ini, ketika tema-tema yang berhubungan dengan dunia artis mulai digandrungi masyarakat, Silet pun kembali merubah haluannya dan menceburkan program tayangannya menjadi tayangan infotainment. Itulah sedikit deskripsi penulis tentang tayangan Silet yang “mereka” gembor-gemborkan sebagai salah satu pelopor jurnalisme infotainment.

Dalam mengamati fenomena program Silet, penulis akan banyak mengacu pada pemikiran Iswandi Syahputra dalam bukunya yang berjudul Jurnalistik Infotainment : Kancah Baru Jurnalistik dalam Industri Televisi karena dirasa sangat membantu penulis dalam mengamati fenomena program acara ini. Lantas, bagaimana kita menyikapi jurnalisme infotainment? Banyak kesimpangsiuran berkaitan dengan isu-isu jurnalisme infotainment diantara para pekrja jurnalis. Banyak yang berkata bahwa “pekerja infotainment”—saya lebih senang menyebutnya pekerja infotainment karena saya sendiri kurang setuju jika mereka disebut sebagai jurnalis—telah menyalahi berbagai aturan sebagai seorang wartawan. Tetapi, menurut Iswandi Syahputra yang mengutip Berger dan Luckmann, munculnya infotainment merupakan eksternalisasi atas liberalisasi dalam industry media. Sedangkan berbagai penolakan terhadap adanya istilah jurnalistik infotainment merupakan bagian dari proses objektivikasi. Dengan kata lain, kita tidak bisa mengungkiri keberadaan infotainment di tengah-tengah masyarakat karena ini merupakan realitas dalam masyarakat dan masyarakat menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. Yang menjadi permasalahannya adalah bukan dari aspek penerimaan wajah infotainment di masyarakat melainkan bagaimana istilah “jurnalistik“ dikaitkan dalam sebuah program acara infotaintment dimana menelanjangi privasi seseorang (artis) dan yang lebih parahnya sering kali artis tidak berdaya ataupun sengaja menyerahkan “’dapur rumah tangga” mereka sendiri untuk menjadi bahan obrolan di masyarakat. Selain itu, pekerja infotrainment tidak bekerja seperti layaknya seorang wartawan yang “sesungguhnya’ yang memegang teguh kode etik jurnalistik.

Silet , sebagai sebuah tayangan infotainment menurut Iswandi Syahputra memiliki Sembilan kesalahan.
Pertama, gosip sebagai berita. Intinya, gosip bukanlah berita dan berita tidak bisa dibuat gosip. Berita mengandung unsur kebenaran, informasi dan keterbaruan. Informasi yang disajikan oleh berbagai tayangan infotainment yang ada tidak memberikan check and re-check terhadap pemberitaannya.
Kedua, mencari-cari alasan. Bersikap kritis bukan berate mencari-cari kesalahan. Berbagai sikap yang ditunjukkan seorang wartawan semata-mata demi kepentingan publik.
Ketiga, pemaksaan. Cara-cara yang digunakan oleh pekerja infotainment sering kali menggunakan jalan pemaksaan ketika narasumber yang dimintai keterangan kurang dapat bekerjasama. Cara-cara seperti ini tidak dibenarkan untuk seorang watawan.
Keempat, dramatisasi. Dramatisasi kadang perlu digunakan untuk menggugah sisi humanis manusia tetapi tidak dibenarkan jika dramatisasi dibuat secara mengada-ada.
Kelima, opinisasi. Dalam dunia infotainment yang terjadi justru opinisasi sistemik, yaitu praktek pembentukan opini yang diproduksi secara sadar, tendensius dan berpretansi yang secara langsung dibacakan oleh presenter melalui berbagai narasi.
Keenam, penggunaan media. Tayangan infotainment yang merupakan produk production house bukan merupakankan produk dari stasiun televisi yang merupakan media ruang publik. Dengan kata lain, infotainment tidak masuk dalam ruang publik.
Ketujuh, mengumbar privasi. Sudah jelas infotainment mengumbar privasi yang bukan menjadi kebutuhan dalam ruang publik dan hal ini sangat tidak dibenarkan di dalam kode etik jurnalstik.
Kedelapan, mengancam. Ancaman terhadap narasumber untuk memberikan informasi adalah tidakan yang tidak mengikuti kaidah jurnalistik
Kesembilan, penggunaan istilah. Pekerja infotainment dengan mudah menyebut seseorang yang muncul di televisi adalah seorang artis dan disimpulkan bahwa publik berhak tahu privasinya. Sangat jelas bahwa pekerja infotainment menodai hak privasi seseorang.

Sebagai tindakan atas puncak kekecewaan masyarakat terhadap tayangan infotainment Silet, bebeapa saat lalu muncul somasi dai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Somasi tersebut berkaitan dengan berita bohong yang meresahkan masyarakat berkaitan dengan peristiwa bencana merapi di Yogyakarta. Setelah itu, tayangan Silet menghentikan siarannya beberapa saat dan meminta maaf kepada masyarakat yang merasa dirugikan atas pemberitaan yang tidak benar tersebut.

Kini, Silet berganti nama menjadi Intens untuk merubah image yang telah hancur di mata masyarakat. Dengan mengganti presenter dan temanya lebih terfokus pada kehidupan lain artis, kini Intens tengah berjuang untuk menata diri agar dapat diterima oleh masyarakat.

Sekarang saatnya kita sebagai insane yang melek informasi dapat menyikapi semua secara bijak. Kita tidak bisa mengahakimi suatu tayangan tersebut jelek akan tetapi kita juga harus melihat cover both side bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa tayangan tersebut diterima masyarakat. Salam.

4 komentar:

  1. iya tu... silet bikin gempar aja.. semoga tulisan ini bisa jadi pembelajaran buat media yang lain, biar gak kena tegur KPI dan merugikan masyarakat.

    BalasHapus
  2. tapi meski diganti namanya jadi intens, kontenya kurang lebih sama aja kok tetep, ga ada yang berubah, terus apa gunanya ganti nama ya

    BalasHapus
  3. semoga kita sebagai mahasiswa yang menyoroti media paham benar bahwa program acara yang ada tidak hanya ditonton namun jadi pembelajaran/ ada sesuatu yang membuat kita kaya informasi dan edukasi.

    BalasHapus
  4. joss deh bang toim
    gak ada edukasinya sama sekali acara kayak begitu
    cuma ganti nama, kaya empat mata aja kan yaa

    BalasHapus