Dalam Jika Aku Menjadi… (JAM) diceritakan mengenai seseorang—biasanya mahasiswi—yang tinggal selama beberapa hari dengan keluarga yang kurang mampu dan harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tugas mahasiswi di situ adalah untuk membantu pekerjaan bapak atau ibu pemilik rumah. Seperti pada sebuah episode yang menurut saya cukup menarik, seorang mahasiswi bernama Tasya, ikut membantu seorang bapak (saya lupa namanya, sebut saja Pak Heri) membuat batu bata. Tasya, yang jijik saat menemukan cacing di dalam tanah yang akan dicetak, menangis karena dia tidak bisa membayangkan betapa kecilnya uang yang diperoleh dari pekerjaan seberat itu. Pak Heri hanya mendapat Rp 15.000,- untuk 1000 buah batu bata yang dibuatnya.
Meskipun bertugas untuk membantu pemilik rumah, namun ada juga mahasiswi yang justru terkesan ‘manja’ dan merepotkan. Pada episode lain yang mengulas tentang kehidupan pembuat alu (alat penumbuk) dari batu, saya sampai gemas melihat kelakuan si mahasiswi. Baru sebentar memegang alu, dia sudah mengeluh yang macam-macam, berat lah, capek lah. Sudah begitu, bukannya melanjutkan pekerjaan, dia malah menangis karena kecapekan. Akhirnya sang bapak pembuat alu terpaksa meninggalkan pekerjaannya demi menenangkan si mahasiswi. Haduh… Bukannya itu justru malah merepotkan sang pemilik rumah? Selain itu, si mahasiswi biasanya juga mencari tahu kepada mereka, bagaimana rasanya hidup dengan kondisi yang serba sulit itu selama bertahun-tahun, apakah ada keinginan anak mereka yang belum bisa mereka wujudkan, atau adakah sesuatu yang sejak lama mereka impikan, tapi hingga sekarang belum terlaksana. Tidak jarang dalam momen perbincangan ini, mahasiswi menangis mendengar cerita kehidupan mereka yang menyedihkan. Bapak dan ibu pemilik rumah pun sering ikut menangis ketika menceritakan perjuangan hidup mereka yang berat untuk mencari penghasilan.
Dirintis pada akhir tahun 2007, program JAM bisa dibilang sukses mengambil hati para pemirsanya. JAM berbeda dari acara-acara sejenis di stasiun televisi lainnya, karena JAM memperlihatkan seluk beluk perjuangan hidup seseorang untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya melalui pekerjaan yang berat dan melelahkan, tanpa dibubuhi dengan adegan-adegan yang terkesan berlebihan dan didramatisir. Kalau boleh membandingkan, JAM terlihat lebih natural daripada acara Tolong! di RCTI ataupun Bedah Rumah. JAM juga banyak menampilkan pekerjaan yang memprihatinkan, seperti tukang penjual keranjang anyaman bambu, pencari belut, tukang sampah, pembuat batu bata, dan sebagainya. Kondisi tersebut diperparah dengan keadaan ekonomi mereka yang sangat minim, sehingga hal itu mampu membangun empati bagi orang-orang yang menontonnya. Kekurangan JAM adalah pada segi penempatan waktu. Saya kurang setuju jika acara bagus seperti itu ditempatkan pada jam 5 sampai jam 6 sore, karena pada jam-jam itu, orang cenderung mematikan televisinya untuk beristirahat atau mempersiapkan ibadah shalat maghrib.
(RANGGI LARISSA IZZATI / D2C008060)
tulisanmu bagus, perlu ditingkatkan lagi intensitasnya
BalasHapustapi kadang acara seperti itu terlalu didramatisasi ya, misal tiba2 pas si mahasiswa bantu jualan dicegat orang gitu2
BalasHapusbenar, kadang mahasiswa tersebut justru terkesan merepotkan dan berlebihan. saya pernah melihat episode yang mahasiswanya jijik sama buah dan sebaiknya kalau dia banyak memiliki ketakutan tidak perlu mengikuti acara tersebut.
BalasHapus